ASSALAMU'ALAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKATUH

Selasa, 02 Oktober 2012

memberiku tanda

tak tau apa yang kurasa ini,
seakan menahan sesuatu, menggigil dalam butiran embun yang tertangkap rembulan
kedua retina yang seakan letih memandangi kerisauan hati
aku mulai menghapal jumlah jari-jemarimu ketika mendekapku
apakah aku tak sendiri, tanyaku ?

gelap ini, sebagian merundukkanku
menjadikan sebagian yang kuanggap terang kembali gelap
hujan ini, sebagian mengingatkanku pada suatu hal
mu

ngkin ketika aku terperangkap malam bersamamu
menikmati jalan licin disetiap likunya

tak tau apa yang kurasakan kini,
terasa kekal dalam roh,
atau bahkan hanya senyap dalam petang

jantung ini terasa menandaiku,
disetiap detaknya
kadang terangkum dalam benak, seperti namamu yang memberiku tanda.

tak tau apa yang terasa dalam hati
masih mengingat-ingat sesuatu
masih berbaring menahan sesuatu
kurasakan ada kau, menemaniku
memegang kedua telapakku, seraya berbisik " Tuhan jagalah ia untukku "

dalam do'a

kita hidup dalam do'a yang selalu diapit dalam dua telapak
memandangi linangan air mata kala hujan tak lagi bergemuruh dalam raga,
petang ini seakan meninggalkan satu telatah, kala kami bersahaja

barismu, barisku seakan rapi
menuju kota-kota yang bersih tanpa benci dan dencam yang berkecamuk..

meninggalkan satu-persatu jeda,
sedang diatas sana selalu ada nama kita
berdampingan dengan roh, fitroh,..
namun,kini jejak kita hilang satu-persatu

Jumat, 24 Agustus 2012

kota ini

kota yang beku,
jalanan yang seakan rancu dalam benakku
pagar dan taman kota yang kini memucat
menanti asap-asap dan debu-debu pergi

kita yang hampir meninggalkan tapak kaki,
diseberang jalan menuju jantung kota
memburu rupiah
melupa pada sedekah,

digang sempit seberang rumah
ada rambu-rambu yang semakin sibuk dengan tingkahnya
membenarkan letak kota yang hari ini penuh nyawa
mereka seakan riang ketika berlari, meluruskan setir
dan meninggalkan pucatnya kota ini

Rabu, 15 Agustus 2012

ketika kita,

kita yang hidup pada abad-abad
menjadikan tetesan-tetesan bersejarah
mengenang jalan-jalan yang dulu tak berpenghuni

kita yang hidup pada abad-abad
helaian nafas kita seakan tertawan pada jarum besi
seperti detak jarum jam,
mengambang diantara angka-angka mati

atau kita hidup pada tebing-tebing?
dimana kita adalah paling tinggi
dimana kita adalah paling kokoh
lihatlah kita pada musim kemarau, apa ada yang kita tutup-tutupi ?
atau lihatlah kita pada musim hujan, apa ada keluh yang terucap ?

lalu,
sekarang kita hidup pada kotak-kotak
yang membuat kita semakin tak berperilaku
tak mengenal air mata
tak mengenal huruf dan angka-angka
tak mengenal apa-apa yang tersimpan didada

Selasa, 14 Agustus 2012

Terlebih, karena artiku sendiri

dan tak bisa tidur malam ini,..

bukan karena kerasnya lonceng yang berbunyi
bukan karena sempitnya ruang mimpi
bukan karena adanya bah yang menggenangi rumah-rumah kami
bukan karena rasa dingin yang menyekat
lalu memotong urat-urat kami

terlebih,
karena aku tak mencintai malam seperti rasa cinta yang berjajar
karena aku tak memiliki malam seperti mereka yang menghabiskan waktu dimeja besar
karena aku tak seperti musim yang selalu mengikuti titahnya

bukan karena asap rokok lebih tebal dari helaian napasku
bukan karena pisau lebih tajam dari lidahku
bukan karena jalan lebih panjang dari langkahku
bukan karena sepi lebih berarti dari diamku

terlebih,
karena disetiap jarum yang mengayun dalam rangkaian waktu itu lebih lama dari rasa yang menghimpitku
karena disela-sela retinaku ada gambaran hitam yang mengambang seperti aku berdekatan dengan maut

dan aku tak bisa tidur malam ini,..
terlebih karena artiku sendiri
menyamai perasaan setiap orang kala hening dalam tidur

Selasa, 10 Juli 2012

Rindu yang membatu

kami sempat merasakan rindu yang membatu,
menjadi kepalan-kepalan masa
seperti padatnya tebing pada tanah lot

sepertiga dari kami berisi pasir dan debu
merapatkan musim 
beterbangan kesana kemari, dihantar angin sesuka kami
melobi tempat-tempat padat
diantara geraja, masjid, dan kota-kota nan sepi

sepertiga dari kami masih berisi air,
menguap, seakan tak mengenalimu
berjarak dengan kemukus ketika malam berdampingan

dan sisanya berisi padat bebatuan
kokoh seperti dendam para tahanan belanda, waktu itu
bersatu dalam do'a-do'a
bersorak-sorak ramai
kami padat, dan lebih dari padatnya beton

Sabtu, 07 Juli 2012

Disebelah paru

adalah bab yang sengaja belum kurampungkan
tentang koma dan titik yang mengganjal,

disebelah paru,
ditanda merah menghitam karena marah

aku ditandai peluru
diacungi pisau belati
dihadapkan pagar beton nan tinggi
tetapi aku sendiri kerdil

lain kali, aku akan menghitung sebab
berapa banyak sakit yang menyesakkan
berapa banyak pisau yang menikam
hingga sekujur...

Selasa, 10 April 2012

Sesuatu

Sesuatu
Dan itu tetap menyala
Menggenapi hasrat, menyita waktu

Sesuatu
Tentang tangis dan deburan ombak,
Yang mengacaukan kita sewaktu-waktu
Kita tahu,

Sesuatu
Yang mulanya dingin tak berotasi
Kini hangatkan jiwaku
Sesuatu itu ada
Semua karenamu
Belahan jiwaku

Jumat, 30 Maret 2012

Berita Kenaikan BBM

Beberapa hari terakhir, berita-berita di koran diramaikan dengan berita kenaikan BBM, ada partai yang setuju dengan kenaikan seperti Golkar, PPP dan PAN, ada juga yang tidak setuju seperti PDIP, Hanura dan PKS. Yang setuju berpendapat BBM dinaikan karena harga minyak dunia naik, anggaran bisa dihemat sampai 57 trilyun, dulu jaman orde baru harga BBM pernah mencapai Rp. 8.500,- jadi kalau sekarang masih sekitar Rp. 6.500,- wajar kalau dinaikan, subsidi BBM tidak banyak membantu rakyat kecil. Yang tidak setuju berpendapat kenaikan BBM bisa memicu kenaikan harga dan akan menyusahkan rakyat kecil.

kenaikan bbmBagaimana cara pemerintah menghindari demo akibat dari kenaikan BBM, yaitu pemerintah akan membantu rakyat kecil dengan cara memberikan BLT sebesar Rp.150.000,-/bln selama 9 bulan sehingga akan terlihat seperti sinterklas yang membela rakyat kecil. Ada apa dibalik ini semua?

1. Saya melihat partai yang pro dinaikannya BBM justru ingin rakyat mengkritik pemerintah akhirnya terutama partai oposisi akan mempunyai peluang menang pemilu tahun 2014.

2. Partai yang menolak kenaikan BBM ingin membela rakyat kecil dan melihat efeknya akan kehilangan suara sewaktu pemilu jika setuju dengan kenaikan BBM.

3. Beberapa orang berpendapat, lebih baik subsidi disalurkan dalam bentuk BBM daripada menghemat dana subsidi BBM kemudian uangnya dikorup oleh pejabat di pemerintah perhitungannya, subsidi BBM sebesar 57 trilyun tidak sebanding dengan korupsi 400 trilyun.

4. Kondisi saat ini jika Demokrat menghemat dana dari BBM dengan menaikan harga, bisa jadi partai-partai yang setuju dengan kenaikan harga BBM berharap, pertama Demokrat kehilangan suara dan mereka mendapatkan suara pemilih, kedua saat berkuasa mereka akan menurunkan harga BBM dan rakyat akan senang dan memuji mereka. Jika harga tidak dinaikan, maka akan sulit dengan dana yang terbatas dan mengambil simpati dengan menurunkan harga BBM yang tidak tinggi di awal.

5. Ada hal yang aneh, mengapa PDIP sebagai oposisi menolak kebijakan pemerintah? Apakah oposisi selalu bersikap menolak kebijakan? Atau sekedar ingin terlihat pro rakyat? Padahal kesalahan pemerintah dalam mengambil kebijakan bisa dimanfaatkan oleh oposisi dalam hal ini PDIP untuk meningkatkan pamor saat pemilu dan saat berkuasa.

Semoga pemerintah jeli melihat hal ini jika masih ingin berkuasa setelah pemilu 2014.

sumber : http://tekkwie.com/berita-kenaikan-bbm-1-april-2012

Minggu, 11 Maret 2012

saling berucap

aku yang pernah bertanya
kemana arah tatapan mata kita sore itu
kau menjawab " kearah yang sama "

aku yang pernah bertanya pula
kemana kita hendak melangkah setelah itu
kau menjawab " kita hanya akan melewati jalan setapak menuju rumah kita"
disana,mungkin hanya ada aku dan guraumu

dan kemudian kita saling menatap
serentak berucap " sampai kapan kau mencintaiku "
dalam hati kita menjawab " lewati saja jalanan setapak ini "
esok pasti kau akan lebih mengerti

Selasa, 06 Maret 2012

Tembok-tembok bertato kuda

Selain kita,
Ada tembok-tembok bertato kuda
Bukan hiu atau kura-kura
Diujung sana aku mulai menghitung ruas jalan yang dulu kulewati
Pernah kuhabiskan tanah sepetak dan ternak sepuluh
Semua kuikat dalam lemari belajarku
Kuambil satu-satu ,
Lalu kupulangkan kepadanya

Disana, pernah kuhitung jarak antara aku dengan rumahku
Sejengkal tak ada,
Namun begitu jarang aku mengetuk pintu rumah
Ada tembok-tembok bertato kuda dikamarku
Ada lukisan-lukisan pak tua sejajar dengan kuda itu
Kukira, dulu ia adalah kakekku
Namun ternyata bukan (kata ibuku)

Selain kita,
Ada cat warna kuning kusam diatas lemari gudang
Kuhitung satu-satu
Ketika jemariku semua merunduk,
Yang kugenggam adalah udara hampa
Tanpa tengadah yang mengiba pada satu do’a
Begitu lama aku meninggalkanmu tembok-tembok bertato kuda


Selain kita,
Ada gambar kecil yang kulipat-lipat dalam saku
Kukira itu kau
Tembok-tembok bertato kuda
Ternyata bukan ketika kubuka
Hanya tulisan-tulisan sederhana
Dan ada satu lingkaran besar disekililingnya
“purnama”
Dikota kelahiranku
Tembok-tembok bertato kuda

Kamis, 16 Februari 2012

Semakin sempit

Hujan tiada,
Bersama awan yang kulipat-lipat dalam saku
Kukantongi rasa cemas ketika kau tak berada diretinaku
Tetapi apakah itu sama,
Kau menghawatirkanku juga?

Digang kecil menuju rumahku
Kulihat ada sepasang dadu, entah itu milik siapa
Dibiarkan tercecar dalam genangan air
Kotak kecil yang sesekali meramalkan cuaca hari ini

Hujan tiada,
Dalam hitungan detik
Kuhitung sendiri, hingga matahari itu terbenam
Tetapi kau tak muncul juga malam itu

Kulihat malam semakin sempit
Tak ada dadu
Tak ada genangan air di gang itu
Mungkin sepasang dadu itu pernah membuatku kacau
Ketika kau tak disini

Minggu, 29 Januari 2012

pelatukmu , BISU

Barangkali aku harus menunggu senapanmu
Menghentikan resah yang memanjang pada tiap pot
Disudut lemari dekat meja belajarmu

Aku menantikan pelatukmu
sedetail mungkin kau ada dalam asap yang kuhirup
Sore ini, saat aku menahan resah yang sangat
Berharap kau membunuhku, tanpa ragu-ragu

Selasa, 10 Januari 2012

terkutip dipantai depok

Yang saat itu tertidur
Aku dan ombak yang hinggap diteritis retinamu
Menjadi penikmat gulungan ombak pantai sore itu,
Tatkala rerintik menghabisi jutaan rasa yang kuapung-apungkan semalan
Kini tiada jeda antara aku,engkau dengan pantai itu