Wajahnya berdebu ,lalu disapu angin yang mengutip kebisuannya.. tik..tik.. tik..
Suara rerintik itu mengacuhkan lamunannya , kulihat wajahnya memar seperti celaka baru saja menghampirinya , dipelipisnya seperti ada guratan dan warna kecoklatan seakan melekat tipis dipipinya. Oh tuhan kurasa memang ia baru saja celaka .dengan perasaan cemas dan hati seakan melebarkan rasa iba aku berjalan menghampirinya .. mengusap gerimis yg baru saja ia mulai dalam rintih dan tangisan panjang .sayang mengapa engkau menangis ketika musim tak memusuhimu ? ucapku lirih...
Tetap saja raut wajahnya kusut , bibirnya tak enggan menelurkan kata yang bisa melegakan setiap pertanyaan dan kecemasnku..dalam detik yang tak terbagi, aku menunngu tangannya menggeggamku mengantarkan cemas yang baru saja ia miliki untuk sejenak berbagi duka denaganku dan bibirnya bergerak mengantarkan senyum padaku dan begegas bercerita tentang misterinya saat itu , meskipun terasa berat ia mengadu.
Sayang , mengapa kau tetap bisu ....
Sampai kapan kau seperti ini , tak bisakah rasa itu kau bagi jika semua itu bisa melegakan hatimu.atau setidaknya kau pandangi kedua mataku agar aku tau betapa perihnya hatimu saat ini.’’
Dinding – dinding desebelah kita seakan ikut menangis , angin yang berada disekitarpun ikut diam sejenak menghayati nya dan berusaha tau sedalam apa luka yang mendera kekasihku. Dan laitaipun saling mengerutkan kecongkakannya ..menampung cerita yang dirangkum dalam bisu dan diamnya.serta menantikan air mata itu tak lagi membanjirinya ...ia hanya menggu saat itu.
Kusen-kusen itu saling mentap dan tak berkedip . dan atap-atap itu trus memayungi kita berdua dari derai yang tak kunjung berhenti.terima kasih ucapku ... kepada benda-benda yang kuanggap selama ini mati .tetapi hari ini mereka mengerti duka kekasihku...
“Mas”,..... suaranya pelan dan agak serak ,terdengar lirih dikedua ujung telingaku...
Kemudian kubuka kedua mataku dan kembali kutatap ia dengan membalas ucapannya “ iya sayang....” matanya hingga kini enggan terbuka .. setelah panggilan itu kudengar . hujan pun reda angin yang semua membahas percakapan kita , kini telah sirna ...
Kupegang kedua tangannya ,tak ada nadi yang berdetak ... tak ada hembusan nafas yang kurasa semenit yang lalu. “Tuhan mengapa Engkau ambil ia dariku....” kemudian dada ini sesak karena melihatnya kaku , tetes air mata ini terus mengalir hingga tumpah disetiap mereka yang menyayangi adikku...
Bapak ,ibu , dan kini adikku telah dipanggil oleh sang pencipta ...
Semua yang terbaring kaku kini menjadi beku karenanya,bukan karena hujan , bukan karena angin yang berubah menjadi dingin bukan pula karena cemas yang mengikat disimpul2 jemari dan disebagian tulang – tulang ini. tak ada lagi hujan setelah sore itu , dan tak ada cemas segetir itu .
Ketika kembali mengingatnya, tak ada senyum yang bisa kubagi dengan siapapun . kepada alam pun aku tak sanggup , meskipun hanya setipis malam dengan pagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar